Malam sudah larut, mega
merah yang ada di ufuk barat sudah menghilang jauh dan bulan sama sekali belum
menampakkan dirinya yang sudah beberapa hari ini tertutup awan akibat hujan
yang tidak perna reda. Aku sudah membuat janji dengan salah seorang rekan yang
bertandang ke tempatku untuk nongkrong di warung kopi (warkop) malam ini. Aku
memutuskan untuk menyusul rekanku selepas makan malam di indekosan soalnya masih
tersisa nasi yang aku masak pagi tadi. Aku sedikit takut untuk makan di luar
dan meninggalkan nasi itu terbuang percuma. Salah satu gorengan favoritku yang
walaupun setelah aku memakannya pasti membuatku mules, tahu isi itulah gorengan
favorit yang selalu jadi menu saat dingin menjadi di luar sana.
Aku sudah memesan gorengan
untuk makan malam ini. Soalnya nasi yang tersisa tinggallah sepiring, itupun
mungkin sama sekali tidak cukup. Aku sudah memutuskan untuk makan di warkop
jika masih lapar terasa. Aku pulang dengan motor buntutku dengan tergesa-gesa
sebelum adzan Isya berkumandang di menara masjid. Rasanya malam ini suasana
berpihak padaku walaupun bintang-bintang yang dulu sering terlihat seperti
kelap kelip lampu kapal belum juga terlihat, awan masih sering menampakkan
bayangan hitam dan masih menghiasi langit yang sering terlihat penuh bintang itu.
Tak lama waktu yang
dibutuhkan untuk menghabiskan makanan yang aku punya, rasa lapar masih terasa.
Aku ingat bahwa aku masih punya sebungkus roti favoritku yang tersisa. Aku
menambahkannya dalam menu makan malam kali ini. Dua, tiga gelas aku teguk dengan
perlahan dan rasa lapar itu sudah hilang. Perutku sudah mampu bertahan sampai
makanan itu benar-benar dicerna oleh ususku. Tiba-tiba aku kedatangan tamu yang
sering menemaniku makan. Walaupun bukan dari sebangsaku tapi aku sangat peduli
padanya, bahkan ketika aku makan seekor ikan pun, aku rela berbagi padanya.
Tapi, kadang juga sangat menjengkelkan karena makanan yang aku suguhkan disisa
begitu saja. Ketika rasa peduliku datang aku rela berbagi banyak padanya.
Dialah seekor kucing betina dengan bulu lebat berwarna putih. Kucing manis itu
kadang menjadi melodi, bersyair dengan suara khasnya”meong” saat butuh sesuatu.
Tiba-tiba dia masuk ke
dalam kamarku saat aku selesai mengambil air wudhu. Mungkin kamar depan tidak
peduli sama sekali, tak sebutir pun nasi didapatnya setelah lama mencari
peruntungan dengan menunggu sang tuan kamar selesai makan. Mungkin tuan kamar
tidak tau apa-apa soal kepedulian. Kucing itu merengek, mengikuti langkah
kakiku yang bergerak cepat masuk ke kamar hendak mendirikan sholat. Aku tahu
bahwa kucing itu sedang butuh sesuatu, kelihatannya sedang dalam keadaan lapar
yang sangat. Aku bingung juga, tak sebutirpun nasi yang tersisa sedang jarak ke
warung butuh beberapa meter untuk menjangkaunya. Aku juga kesal sewaktu aku
melahap menu makan malamku, si kucing itu tidak menampakkan diri jadinya aku
tidak menyisakan bagian untuknya.
Waktu terus bergerak, aku
sudah janji pada rekanku untuk menemuinya di warkop setelah sholat maghrib
padahal sudah mau masuk waktu Isya aku belum sama sekali bergerak. Kucing itu
terus meraung dengan nada khasnya, merengek seakan perutnya sudah tak tahan
dengan rasa lapar. Aku tidak sanggup untuk melihat binatang itu merengek terus
seperti anak kecil yang menginginkan sesuatu tetapi tahu harus apa kecuali merengek.
Aku memandang diriku yang tidak mampu berbuat apa-apa. Ketika aku memutuskan
untuk memasakkannya, aku akan dimarahi oleh teman sekamar karena listrik akan
padam sedang untuk ke warung sendiri untuk memesankannya makanan tidak akan
mungkin kulakukan mengingat waktuku akan banyak terkuras.
Aku ingat alkisah seorang
perempuan pelacur dizaman sufi yang diampuni dosanya ketika memberi air seekor
anjing yang sedang kehausan di padang gurun. Aku melihat mangkuk plastik dan
aku segera mengambil air dari dispenser dan
menyajikannya pada kucing tersebut. Aku layaknya melayani tamu kehormatan yang
sangat membutuhkan jamuan untuk sekedar menghilangkan dahaga. Kucing itu
mengira aku sedang menyuguhinya makanan tapi ketika mencium baunya ternyata itu
hanya semangkuk air putih tanpa rasa apapun. Kucing itu lalu memandangku dengan
tatapan sayu berdiri sambil mengelus-ulus keningnya. Kemudian, kucing itu mulai
meminum air tersebut perlahan-lahan bagaikan sedang menyantap makanan yang
lezat dalam mangkuk itu. Beberapa menit kemudian, kucing itu melangkah mundur
dan pergi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Membersihkan sisa-sisa air
yang masih menempel pada bulu-bulu dekat mulutnya.
Aku merasa tidak punya
arti apa-apa dihadapan seekor binatang. Harusnya aku yang peduli padanya,
menjaganya mahluk ciptaan Tuhan tapi aku lalai dari tanggungjawab itu. Aku
sangat terpukul dengan keadaan itu pada kesempatan kali ini.
Cerpen : "Sang Kucing"