Tuhan
menciptakan manusia dalam keadaan yang berbeda-beda dan berpasang-pasangan. Tidak
ada yang mengetahui dirinya kedepan akan bagaimana 10 tahun yang akan datang. Semua
rencana di dunia ini sudah diatur olehNya. Manusia hanya lakon atau pemain
dalam sebuah skenario yang tersusun dengan rapi di atas panggung sandiwara. Tujuh
tahun silam sebuah jalan perna menjadi saksi perjalanan hidup yang penenuh
liku-liku tapi walaupun begitu rasa syukur selalu tercurah pada yang Kuasa atas
nikmat-nikmatNYa yang tak henti-hentinya pada umat yang Dia kasihi. Waktu itu masih mengenyam pendidikan di bangku
SMP, bulan ramadhan yang seharusnya dinikmati dengan lafaz ayat-ayat Alquran
dan hafalan do’a-do’a diganti dengan batu kerikil hitam dan cadasnya batu
gunung serta gudukan-gudukan pasir dan aspal panas. Kebutuhan semakin mendesak
apalagi tak sengaja mendengar suara ibu yang dalam gelapnya malam berbicara
sendiri tentang kebutuhan rumah tangga. Ayah yang waktu itu tak ada di rumah
merantau di tanah ambon nan jauh itu belum ada kabarnya akan mengirimkan uang
bulanan bulan untuk kebutuhan bulan ramadhan sementara kakak menempuh
pendidikan D3nya di kota makassar mengabarkan mengirimkan pesan bahwa
pembayaran SPPnya bertepatan dengan bulan ramadhan itu juga. Ibu yang tidak
memiliki perkerjaan dan hanya mengharapkan buah jambu menteh bingung padahal
jambu menteh yang menjadi harapan jangankan berbuah berbungapun belum.
Aku
hanya terdiam di dalam kamar yang kebetulan bersebelahan dengan kamar ibu, air
mataku menetes-netes membasahi bantal dengan terisak kecil. Tak tahu apa yang
hendak kuperbuat untuk membantu ibu keluar dari jurang kesulitan yang melilit
keluarga kami. Aku masih kecil dan di kampung kami itu pekerjaan sangat sulit
di dapat maka itulah banyak lelaki yang memilih merantau seperti yang dirasakan oleh ayahku. Belum cukup
umurku satu tahun ayahku pergi merantau ke tanah ambon sektar tahun 1993 masih zaman
orde baru. Ayahku memilih merantau daripada tinggal di kampung halaman kami
yang mayoritas penduduknya petani kecil yang hanya mengandalkan peralatan
seadanya dalam menggarap kebun. Tak ada pekerjaan untuk anak kecil yang cocok
untuk umurku ini, kilahahku dalam hati. Anak-anak seusiaku menikmati bulan
ramadhan 2007 itu dengan suka ceria dan permainan-permainan yang mengasyikkan tapi
aku tak berpikir sedikitpun untuk itu. Aku hanya berpikir bagaimana bisa mendapatkan
pekerjaan untuk membantu ibuku paling tidak saat lebaran nanti aku bisa beli
pakaian baru dengan hasil jeripayahku.
Tak
terasa matahari pagi sudah memancarkan sinarnya, aku bergegas bangun mengambil
air wudhu, sholat subuhku terlambat tapi aku berpikir daripada tidak sholat
mending sholat saja urusan diterima tidaknya itu urusan belakangan. Terdengar kabar
ada dicari buruh jalanan untuk sebuah proyek pengaspalan jalan RSUD di
kabupaten sekitar 20 kilometer dari kampung tempat tinggalku. Bergegas aku
melangkahkan kaki ke rumah pak mandor yang kebetulan tetangga rumahku.
Dengan
berbagai pertanyaan yang disedorkan pak mandor akhirnya aku diterima untuk ikut
menjadi buruh tapi tiba-tiba perasaanku deg-dukan apakah ibu akan menyetujui
apa yang sedang kulakukan ini. Aku pulang dengan langkah seribu untuk meminta
persetujuan ibu. Awalnya ibu tidak setuju dan malah mengatasi apa kamu sudah
tidak waras? Kamu masih kecil dan itu pekerjaan yang berat bukan pekerjaan
ringan layaknya menulis di atas kertas seperti di sekolahmu. Berbagai alasan
kulontarkan hingga akhirnya ibu setuju, aku yakin ibu hanya tidak tega
melihatku yang masih kecil ini sudah menaggung beban dengan rela kerja di
jalanan yang berdebu dan panas terik matahari. Ibu merasa iba melihatku
tersenyum tapi perasaan ibu berkecamuk menangis sampai aku lihat ibu mengusap
air matanya di belakangku.
Keesokan
harinya akupun bangun lebih awal mempersiapkan segala kebutuhan yang hendak
menemaniku seperti alat sholat, alquran kecil dan jerigen air buat wudhu untuk
sholat dzuhur dan ashar karena pekerjaan hanya sampai jam 4 sore. Lokasi proyek
agak jauh dari rumah setiap pagi aku dan para pekerja lainnya di jemput oleh
sebuah mobil truk yang disediakan untuk mengangkut para buruh ke lokasi. Ini hari
pertamaku “pikirku dalam hati” tak henti-hentinya berpikir membayangkan
bagaimana aku bisa bekerja seperti buruh lainnya dari hampir 30 buruh hanya aku
sendiri anak kecil semua pada dewasa malah semuanya sudah berkeluarga. Aku sedikit
takut tapi ketakutan itu berganti menjadi hal yang menyenangkan, mereka
menyayangiku dan membuatku tertawa dengan cerita-cerita lucunya. Canda tawa
kami tak habis-habisnya sampai tak terasa kami sudah sampai di tempat kerja. Tiba-tiba
mobil yang mengangkut kami berhenti. Pak mandorpun turun dan mengarahkan kami
bahwa inilah lokasi tempat kami akan bekerja, akupun turun dari mobil dengan
semangat.
Tumpukan
pasir, kerikil, batu gunung dan drum-drum aspal tersebar di pinggir-pinggir
jalan kamipun bertebaran mencari tempat yang ditunjuk oleh pak mador untuk
memulai pengaspalan jalan. Hari pertama memang sangat-sangat menyiksa, terik
matahari begitu menyengat seperti apa yang dikatakan ibu sebelumnya. Tidak ada
tempat berteduh, pepohonan jarang hany sebuah rawa-rawa yang ada dipinggir
jalan belum lagi kondisi perut yang sementara puasa harus menahan diri dari
segala suatu yang membatalkan seperti minum apalagi makan. Bersyukurlah aku
walaupun masih kecil, aku bisa puasa padahal banyak pekerja lainnya yang
memiliki tubuh yang besar tidak puasa. Dengan begitu orang semakin sayang
padaku dan maklum. Tidak ada perbedaan semua orang harus kerja sesuai dengan
instruksi dari pak mandor, kecil-besar, tua-dewasa semuanya tanpa terkecuali.
Hari
pertama aku sering membuat kesalahan-kesalahan, kadang ketika aku kena giliran
membawa gerobak mungkin tidak bisa kukendalikan karena beban yang terlalu
berat, gerobak itu masuk kedalam aspal yang masih panas. Kadang dimarahi juga kadang
dimaklumi tapi aku harus menerimanya dengan sekuat hati dan penuh sabar. Disinilah
aku akan belajar tentang bagaimana kehidupan yang sebenarnya, kehidupan
orang-orang kecil dengan beban pekerjaan yang berat tetapi gaji cuman 2 lembar
uang 10.000 memang sungguh kejam kalau kita berpikir sinis.
Jika
jam istirahat tiba, tak kenal lagi ini bersih atau tidak kurebahkan tubuh yang
lelah dan haus dahaga itu ke tanah. Semua orang yang berpuasapun begitu tapi
ketika tiba waktu sholat kami semua mencari sumur untuk membersihkan diri baru
menghadapi yang Kuasa sementara yang tidak berpuasa mereka sibuk dengan bekal
mereka.
Hari
sudah petang kami siap-siap lagi untuk balik ke rumah, mobil yang tadi pagi
mengantar kami sudah siap-siap mengantar kami pulang. Senyum kecil dibibir
merahku terbesit juga dan akhirnya hari pertamaku bisa tertaklukan. Tangan mungilku
yang dahulu halus kini sudah lecet malah dengan bekas goresan bebatuan kerikil
malah ditengah telapak tanganku seperti lingkaran dengan diameter 2 cm
benar-benar luka bukan lagi goresan. Nampaknya begitu perih tapi aku harus
menahannya dan hal ini tidak mungkin aku beritahukan pada ibu. 15 menit sebelum
bedug magrib berbunyi truk yang membawa para buruh tiba di depan rumahku,
akupun melangkah turun dari truk dengan senyuman yang belum perna aku bayangkan
sebelumnya bisa seperti orangtua yang rasanya punya beban pada keluarga. Pertama-tama
aku menyalami ibu kemudian bergegas mandi untuk menantikan bedug magrib di
mesjid berbunyi. Tak lama kemudian puasa hari itu aku tutup dengan secangkir
teh panas dan segelas air putih yang diberi sedikit es. Dahaga sepanjang hari
yang begitu terasa menyiksa telah usai, ibu sangat senang melihatku makan
mencicipi kue yang dihidangkan sebelum melaksanakan sholat magrib.
Semakin
hari kesalahan-kesalahan dalam bekerja bisa kuperbaiki, hingga pak mandor salut
dengan apa yang kulakukan karena aku punya kelebihan dari yang lain. Masih kecil
dan mampu puasa diantara kebanyakan orang dewasa yang semestinya mereka contoh
bagiku tapi malah aku yang menjadi contoh bagi mereka. Tiga hari sebelum
lebaran proyek dihentikan mengingat lebaran sudah semakin dekat begitupula
material yang digunakan untuk proyek terhambat karena beberapa hal. Hari itu
aku merasa senang dengan menerima upah yang tidak begitu besar namun bagi
ukuranku itu sudah sangat besar, uang sejumlah 350.000 kuberikan kepada ibu. Betapa
bahagianya ibu melihatku memberikan uang dari tangan seorang anak kecil sampai
air mata ibu tidak terbendung mengalir dipipih yang sudah keriput. Aku sangat
merasa bangga atas apa yang kulakukan untuk bulan ramadhan kali ini aku yang
menanggung zakat fitrahnya keluargaku. Aku memilih tidak membeli pakaian baru,
rasa terharu menyelimuti keluarga kecilku yang tidak lengkap itu karena ayah
mesti lebaran lagi ditempat perantauannya.
Apa
yang kita lakukan meskipun itu mungkin berat tetapi jika itu dilandasi dengan
niat dan hati yag tulus semuanya akan mudah. Tak ada kata untuk menyerah atas
semua masalah yang ada di dunia ini, yakin Tuhan akan memberikan jalan keluar
maka banyak-banyaklah mengingatNya. Berbahagialah orang yang lahir di dunia ini
dengan kemewahan yang didapat sejak lahir hingga saat ini karena semua orang
menginginkannya tetapi ada yang namanya tadir yang sudah menjadi ketentuan
Tuhan. Mungkin apa yang diceritakan hanyalah sebuah peristiwa kecil tetapi ada
diluar sana yang selama ini masih merasakan kehidupan yang begitu memilukan. Semoga
kita tersentuh untuk selalu berbagi kepada orang-orang yang membutuhkan uluran
tangan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar