Malam
ini (Sabtu, 28 Februari 2015), aku menemukan sebuah pengalaman yang tidak lazim
aku dapati, hanya dari sebuah kisah-kisah heroik ataupun kisah dari zaman
Rasulullah yang sering diangkat pada saat khatib berkhotbah. Tapi, kali ini aku
sendiri mendapati orang yang hampir mirip dengan kisah yang sering diceritakan para
khotib saat berkhotbah. Aku mendapati seorang yang buta mampir sholat di salah
satu masjid depan tugu patung ayam (Jl. Perintis Kemerdekaan Km 16).
Saat
Adzan berkumandang, ku putuskan untuk segera berbalik arah dan masuk ke dalam
pelataran parkir masjid untuk berjamaah sholat Isya. Setelah aku memarkir motor
buntutku, kulihat seorang yang buta dengan keranjang merah yang besar menggantung
di pinggang, tas ransel berwarna hitam dipundak, baju batik merah bersih membungkus
badannya dan peci hitam bertengger di kepala layaknya mahkota raja.
Awalnya
aku tak memperhatikannya tapi karena seseorang berteriak memberi aba-aba kemana
hendak bapak yang buta ini menuju dan mengayungkan langkah kakinya barulah ku
terperanjat dan sadarkan diri bahwa orang yang sedang menuju ke arahku tidak
lain orang yang buta. Aku merasa iba, berdiri mematung terbelalak memuji dalam
hati atas kebesaran nama Rabb yang tiada duaNYa. Aku berpikir sejenak alangkah beruntungnya
seorang buta yang sedang menuju kearahku diberi hidayah olehNYa. Tentu Allah
pasti sudah memberikannya kelonggatan karena kekurangan fisik yang dideritanya
tapi masih saja berbesar hati menuju rumah Allah untuk menunaikan sholat
berjamaah layaknya manusia normal pada umumnya. Tapi, sebagian di luar sana
dengan fisik yang tegar, kuat, dan sehat jasmani tapi masih mementingkan urusan
dunia dan sibuk dengan fatamorgana yang sia-sia.
Benar-benar
mengejutkan ketika aku melihatnya. Selain buta dan toleransi waktu ibadah,
seorang buta yang kujumpai kali ini benar-benar bisa diajungkan jempol. Dia rela
berjalan tanpa dituntun untuk menjajakan dagangannya. Keranjang merah yang
menggantung dipinggangnya tidak lain berisi barang dagangan. Keranjangnya masih
tersisa puluhan bungkus jagung marning (jagung yang digoreng kemudian dicampur
berbagai rasa, misalnya pedas, manis, dll). Tidak seperti yang kekurangan fisik
pada umumnya, menunggu belas kasihan orang duduk di pinggir jalan menengedahkan
tangan meminta belas kasihan setiap orang yang melewatinya tapi seorang yang
buta ini tidak. Dia lebih memilih untuk berjuang dengan sendirinya walaupun
fisiknya lebih parah karena tak bisa melihat jalan yang harus dilaluinya.
Sebatang
tongkat aluminium dipegang erat-eratnya dan diayunkan seiring dengan langkah
kaikinya. Tinggal berapa langkah seorang yang buta ini sudah menggapai diriku. Bergegas
aku meraih tangannya dan memapahnya masuk ke pelataran masjid. Aku menuntunnya sampai
pada tempat penitipan sandal kemudian anak-anak yang bertugas menjaga sandal
segera membantu bapak yang buta tadi
untuk melepas ransel dan keranjang yang menggantung dipinggangnya untuk dititip
sejenak saat sholat di dalam masjid.
Aku
sadar bahwa cerita-cerita yang selalu dikisahkan oleh sang penceramah tentang
seorang yang buta tanpa absen sholat berjamaah di masjid ternyata bukan cerita
belaka tapi hari ini aku menemukannya
sendiri. Semoga pengalaman ini memberiku rasa sadar dan tentu juga yang mmbaca
kisah dari pegalaman ini untuk selalu mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang
dilimpahkanNya pada kita, Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar