Sekitar pukul 10.15 wita,
dengan terburu-buru melangkahkan kaki menuju Gedung Pajak Makassar Pratama
Utara. Aku mendapat mandat untuk melapor pajak salah satu orang yang belum lama
kenal dengannya. Aku sudah membuat janji dengan konsultan pajak di kantor
tersebut untuk menemuinya pada pukul 10.00 wita. Aku sedikit terlambat dari
jadwal yang aku janjikan. Belum lagi kali ini, aku mendapat teguran dari sang security yang sedang jaga di salah satu
pos keamanan karena salah parkir. Biasanya depan masjid yang berada di dalam gedung
keuangan itu ramai oleh kendaraan roda dua parkir di depan halaman masjid
tersebut. Tapi kali ini, aku juga merasa ada yang aneh karena tak satupun motor
yang parkir selain motorku. Dengan perasaan jengkel dan merasa bersalah aku
langsung kebut kendaraanku menuju tempat parkir khusus roda dua.
Sewaktu hendak memarkir
motor buntutku, aku melihat seorang remaja laki-laki sedang duduk disebuah
teras gedung tersebut. Ditangannya terdapat beberapa tumpukan koran yang masih rapi
dan mungkin belum banyak yang laku dijual olehnya. Aku berusaha untuk tidak
memperhatikannya karena aku sendiri tak butuh koran. Lagipula, kalau aku butuh
koran, aku hanya bilang pada salah satu rekanku yang kerja di salah satu oplah
koran terbesar di kota ini (Makassar). Aku tak ada felling bahwa sewaktu aku
berjalan ke pintu masuk gedung nanti aku akan menerima tawaran si remaja
tersebut.
Aku berjalan dengan
terburu-buru sambil menonton jam tanganku yang sengaja aku pakai secara
terbalik. Aku melihatnya, aku ternyata telat 15 menit dari janji yang aku
sepakati. Saat aku lewat di depan remaja penjual koran tadi, dia langsung
menawariku koran. Tapi aku tak punya rencana untuk membeli jualan anak remaja
itu. Aku bermaksud untuk menghilang secepatnya dengan alasan nanti belinya
karena aku dalam keadaan terburu-buru.
Anak itu mengatakan sesuatu,
“belilah korannya kak, aku
mau beli buku. Kalau kakak beli korannya aku bisa beli buku untuk adekku.”
Aku tidak tahu itu hanya
alasan atau memang kenyataan. Tapi aku sangat tersentuh dengan alasan itu, aku
langsung menanyakan berapa harga korannya. Tapi ternyata harga korannya 5.000 rupiah
padahal harga yang sesungguhnya 3.500 rupiah. Memang riskan juga sih. Tak habis
pikir aku, aku langsung membelinya karena kasihan juga jika memang alasannya
itu benar. Aku kasi uang 10.000 rupiah tapi sebenarnya itu ung buat makan
siangku hari ini. Aku bisa mengalihkan budget lain untuk hari ini.
“Uang kembaliannya ambil
saja sekalian, yang jelasnya buat dibeliin buku.”
Di kota kadang kita
dikelabui oleh alasan-alasan seperti anak remaja tadi, tapi kadang ada memang
yang justru nyata bukan alasan yang dibuat-buat atau hanya alasan semata untuk
mendapatkan belas kasihan orang lain. Tapi aku serahkan pada yang Maha Tahu
saja, mau anak tadi berbohong atau jujur semua akan kembali padanya jua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar