Suatu saat, ketika aku
telah merasa sebagai anak muda yang mulai berpenghasilan, aku tidak tahan untuk
tidak segera menjadi orang kaya baru, meskipun penghasilan itu sejatinya
pas-pasan belaka. Tapi dorongan untuk cepat-cepat dianggap kaya ini benar-benar
tak tertahankan. Maka membeli mobil adalah salah satunya jalan. Tapi karena
dasarnya orang kaya gadungan, maka beli mobil pun pasti cuma kuat yang murahan.
Murahan tapi tetap gaya,
inilah soal yang harus segera dipecahkan. Maka inilah caranya: memilih jeep
Wyllys tua tapi yang sudah diobrak-obrak sedemikian, bercat menyala, khas anak
muda. Mobil bobrok ini lalu tampak berharga. Jadi antik. Terhadap barang antik,
orang tak lagi peduli soal usia. Efek itulah yang hendak aku manfaatkan untuk
memanipulasi kemiskinan ini. Kesannnya, aku membeli mobil ini, karena
keantikannya. Bukan karena cekak duitnya.
Dalam beberapa hal
manipulasi ini berhasil. Saat itu aku pernah menjadi anak muda yang menurutku
amat gaya, jika ukurannya adalah menjadi barang tontonan. Ke mana-mana rasanya
semua mata cuma memandang kepadaku dengan Jeep antikku itu.
Bangga sekali rasanya.
Sebuah kebanggaan yang bertahun-tahun kemudian terbukti keliru. Karena ternyata
sebagian di antaranya cuma berisi salah sangka. Orang-orang itu ternyata tak
semuanya bangga melainkan malah iba. Karena rasa iba itu pula yang muncul di
benakku saat ini, setiap aku melihat pihak yang pas-pasan tapi ngotot hendak
bergaya sepertiku dulu.
Tapi setiap orang pasti
memiliki periode kesesatannya sendiri, temasuk diriku ini. Maka agar tidak
tersesat kembali, rasanya penting membongkar-ngongkar kesesatan lama untuk
ditengok kembali. Sesat pertama ialah kebanggaan menjadi barang tontonan itu.
Begitu penting menjadi
tontonan itu sehingga soal-soal lain bisa aku korbankan. Misalnya saja soal
penghasilanku yang pas-pasan untuk membiayai sebuah gaya yang belum semestinya.
Tapi siapa peduli. Tontonan orang-orang itu adalah soal yang menakjubkan
hatiku. Berapapun harganya, harus kubayarkan. Meskipun risikonya harus menguras
seluruh keuanganku.
Betul-betul menguras.
Karena sejak punya mobil itu, aku jarang sekali berada di rumah. Bukan untuk
selalu bepergian karena punya mobil baru, melainkan karena harus ke bengkel
melulu. Namanya juga mobil tua, meskipun gaya, tapi mesinnya bobrok senantiasa.
Hari ini anunya yang ngadat, besok itunya kondor, besok lagi ininya lecek.
Hampir tiada hari tanpa reparasi.
Ekonomiku saat itu
benar-benar berdarah-darah. Tapi bagi pikiran yang sedang sesat, bahkan sudah
mau mati pun masih ingin gaya. Semua kebangkrutan ini tak ada artinya jika
sekeluar dari bengkel, aku sudah kembali ke jalan raya. Kembali melaju dan
semua mantap menatapku, tak peduli apakah mereka sedang iri, bangga, atau malah
iba. Menjadi barang tontonan itulah kebutuhanku. Dan aku tak peduli jika
risikonya adalah kebangkrutanku.
Kesesatan ini sejatinya
akan menjadi-jadi jika tidak karena pengalaman di sebuah lampu merah itu
terjadi. Sebuah pengalaman yang mendebarkan. Tegang ketika lewat di sebuah
lampu merah, ada Jeep serupa telah lebih dulu berhenti. Mobil sama-sama tuanya,
sama-sama antiknya, dan sama-sama gayanya. Secepatnya mobil itu akan
kudampingi, aku akan menyapa sopirnya sebagai sesama penyuka barang antik.
Kepadanya akan aku tawarkan program arak-arakan, membuat extravaganza dengan
jeep-jeep tua tapi gaya. Dan aku memang berhalo kepadanya.
Tapi astaga, lambaian
tangan balasannya tak sehangat yang aku duga. Bukan galibnya sambutan sesama
penyuka jeep tua, tetapi lambaian orang yang tengah sengsara. ''Ah, gara-gara
aku punya mobil ini, jadi habis-habisan. Duit melulu. Salah beli saya,'' kata
orang ini dengan mimik sepenuhnya berisi derita.
Wooo, kami hanya bertemu di lampu merah. Tapi orang ini
sudah langsung menyodorkan kepahitan hidupnya. Ini pasti karena saking
sengsaranya cuma karena dirusak oleh jeep antiknya itu.
Ya, ya?. Di dalam hidup
ini, ada jenis kerusakan yang kita sangka adalah sumber kegembiraan!
dikutip dari Prie GS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar