Ada wanita
hebat di balik keberhasilan dan kehebatan seorang pria. Demikian banyak orang
menarik sebuah kesimpulan tentangnya. Sebagaimana ada Siti Khadijah, seorang
wanita kuat, lembut, sabar, pebisnis hebat nan kaya raya yang telah memberikan
dukungan sepenuh sisa hidupnya pada jihad seorang anak manusia bernama Muhammad
SAW dalam menjalankan tugas sebagai penyampai wahyu Allah dan petunjuk hidup
serta tauladan bagi umat sepanjang jaman.
Dan di edisi
tulisan ini, saya masih ingin membahas mengenai sepasang anak manusia yang
kisah perjalanan hidupnya sungguh menggetarkan jiwa kami. Memberi setitik
cahaya yang semoga dapat terlihat dan membuat kita semua sejenak menengok diri,
agar mampu memaknai setiap detik dengan berbagai ’pembelajaran tanpa henti”.
Ketika SMP,
sekolah Habibie dan Ainun di Bandung letaknya bersebelahan. Mereka hanya kenal
selintas saja. Namun keluarga Besari ( keluarga Ainun ) adalah merupakan
kenalan baik keluarga Habibie, dimana sama-sama tinggal di Bandung.
Selulus SMP,
keduanya melanjutkan di SMA yang sama, namun beda kelas. Habibie selalu satu
kelas lebih tinggi. Dan Ainun justru berteman baik dengan adik Habibie, yaitu
Fanny.
Saat SMA,
Ainun yang adik kelas Habibie, cukup dikenal karena keunggulannya di pelajaran
ilmu pasti. Guru mereka, Bapak Gow Keh Hong sering mengatakan bahwa sebaiknya
wanita mengikuti jejak Ainun.
Demikian
juga Habibie, mempunyai keungulan di pelajaran yang sama. Sehingga guru di
kelas mereka sering melontarkan pernyataan bahwa Ainun dan Habibie kelak pantas
menjadi pasangan suami-istri agar anak keturunannya menjadi pintar-pintar.
Namun
komentar tambahan dari teman-teman mereka cukup menyinggung perasaan. Terutama
menyangkut fisik keduanya yang terbilang sama-sama bertubuh kecil/pendek.
Mungkin
karena ledekan itulah Habibie suatu hari mendatangi Ainun yang sedang duduk-duduk
dengan teman-teman wanitanya.
Habibie
secara spontan menyapa Ainun “Mengapa kamu begitu hitam dan gemuk?”
Ainun tentun
saja kaget dengan ucapan tidak sopan itu. Namun ia dan kawan-kawannya hanya
tersenyum dan menggelengkan kepala saja, tak menanggapi kalimat yang tentu
sangat menyebalkan terdengar.
Rupanya
kenangan itu terus membekas di hati keduanya hingga puluhan tahun kemudian,
lengkap dengan penyesalan Habibie yang sebenarnya hanya bermaksud menarik
perhatian gadis yang banyak disebut-sebut sebagai wanita pintar di sekolah
tersebut.
Selepas SMA,
Habibie melanjutkan studi ke Jerman. Ibu Habibie, yang bernama R.A Tuty Marini
Puspowardoyo adalah kelahiran Jogja, dan Jawa yang sangat berpengaruh dalam
pembentukan masa depan seorang Habibie. Di usia 14 tahun, ayah Habibie, Alwi
Abdul Djalil meninggal dunia.
Habibie
remaja mempunyai perilaku sering menyendiri dan konsentrasi pada lingkungan
dunianya. Sering lupa makan, sehingga sering sakit. Ibunya sering memaksa
Habibie untuk bermain di luar dengan anak-anak lain.
Ibu yang
sangat paham dengan bakat dan potensi anaknya, lalu mendorong Habibie untuk
merantau. Ia berlayar dengan kapal laut seorang diri dari Makasar ke
Jakarta untuk melanjutkan pendidikan dan menempuh SMP di Bandung.
Dan 5 tahun
kemudian, di usia 19 tahun, Habibie juga seorang diri naik pesawat terbang ke
Jerman untuk melanjutkan sekolah ke pendidikan tingginya.
Peran ibu
sangat besar dalam melakukan perubahan tersebut. Sang ibunda bukan saja memberi
dorongan secara moril, namunj uga menyanggupi pembiayaan pendidikan hingga
Habibie dapat mandiri dengan kuliah sambil bekerja di negara tersebut.
Sementara,
Ainun sendiri melanjutkan ke Fakultas Kedokteran UI, di Jakarta. Inilah catatan
Ainun dalam buku A. Makmur Makka ”Setengah Abad Prof. Dr.Ing.B.J.Habibie ;
Kesan & Kenangan’ 1986 (SABJH) sbb :
”Ada satu
ucapannya yang tak pernah saya lupakan. ”He, kenapa sih kamu kok gendut dan
hitam? Kami gadis-gadis semua kaget. Eh kok begitu. Mau apa dia?” Saya dan
teman-teman lagi duduk-duduk ngobrol waktu itu. Tiba-tiba saja ia datang
menghampiri dan mengatakannya. Mungkin ada maksudnya. Entahlah. Memang, kita
berdua sudahsaling tahu-mengetahui sejak dari SMP 5 dan SMP 2 kita yang
bersebelahan di Bandung itu. Katakanlah saling kenal mata. Keluarga kami berkenalan
baik dan saling datang ke rumah, keluarganya di Jalan Imam Bonjol, orang tua
saya di Ciumbuluit”.
Namun dapat
dikatakan bahwa kami saling memperhatikan di SMA Kristen di Jalan Dago.
Bagaimana tidak. Karena kita dua-duanya sama kecil dan sama-sama paling muda di
kelas masing-masing, kita selalu dijodoh-jodohkan oleh para guru : Itu lho yang
cocok buat kamu”. Dia setahun laebih tua dan selalu satu kelas lebih tinggi.
Tetapi kami tidak pernah berpacaran. Malah Fanny, adiknya lebih akrab dengan
saya. Fanny kuanggap ”konco, dia sendiri teman biasa. Ia banyak disenangi
gadis-gadis yang sedikit lebih tua. Saya ingat ia suka bersepatu roda. Saya
sendiri suka berolah-raga; softball, volley, berenang. Juga suka makan. Jadi
kulit memang agak hitam; badan memang berisi. Bukan dia satu-satunya lelaki
yang menjadi perhatian saya; buat anak gadis umur 16 tahun para mahasiswa yang
hebat-hebat dan gagah-gagah memakai sepeda motor Harley Davidson tentu lebih
menarik. Dia masih bersepeda waktu itu. Apakah ia minta lebih kuperhatikan
lebih banyak? Tak tahulah”.
Sehabis SMA
kami jalan sendiri-sendiri; dia ke Jerman belajar menjadi insinyur, saya ke
Jakarta masuk Fakultas Kedokteran UI. Indekos mula-mula pada keluarga Harjono
MT di Jalan Borobodur, kemudian keluarga Abidin di Jalan Lembang. Hidup cepat
berlalu; tahun 1961 saya lulus, lalu bekerja di bagian Kedokteran Anak FKUI.
Saya pindah rumah ke Jalan Kimia agar dekat dengan tempat kerja.
Tahun 1960
ia selesai. Kata tante Habibie (saat itu belum saya panggil mami) ia baru sakit
dua tahun lamanya. Sudah tujuh tahun dia tidak pulang. Kata tante ada baiknya
ia pulang berlibur dulu sebelum meneruskan promosinya, siapa tahu ia bertemu
jodohnya wanita Indonesia di sini”.
Saya sakit
waktu itu; mungkin karena bekerja terlalu keras dan setelah masuk rumah sakit
beberapa lama, diberi cuti untuk istirahat. Maka pulanglah saya ke Bandung. Ke
Rangga Malela, ke tempat orang tua saya sementara itu sudah pindah.
Jahit-menjahit, ngobrol, istirahat”
Suatu hari
menjelang lebaran tahun 1962 Fanny ke rumah dan langsung masuk ke dapur mencari
ibu saya. Rupanya ia sendiri menunggu di mobil. Dan karena Fanny lama tidak
keluar-keluar, akhirnya dia sendiri masuk.
Maka bertemu
kembalilah kami setelah sekian tahun tidak bertemu muka. Bertemu di kamar makan
orang tua saya. Dua-duanya sudah dewasa. Saling berpandang mata. Saling
menegur.; ”Kok gula jawa sudah jadi gula pasir,” katanya.
Singkat
cerita, dari pertemuan itu kemudian keduanya saling tertarik dan kemudian
meyakini bahwa pertemuan tak direncanakan itu adalah awal takdir perjodohan
yang telah diatur olehNya.
Pertemuan
itu berlangsung pada malam takbir Lebaran tanggal 7 Maret 1962. Sementara
Habibie sudah harus kembali ke Jerman di Mei tahun yang sama. Maka dalam waktu
yang cukup singkat, mereka mengumumkan pertunangan dan kemudian menikah di
tanggal 12 Mei 1962. Resepsi dilakukan sehari setelah akad nikah, di Bandung.
Akhir Mei,
Ainun, yang kala itu berprofesi sebagai dokter muda dan telah resmi menjadi
istri Habibie, berangkat ke Jerman mengikuti suaminya. Ia rela meninggalkan
karier pribadinya untuk bertekad menjadi pendamping hidup dan ibu rumah tangga
secara penuh untuk keluarga yang baru saja dibangunnya.
Di Aachen,
mereka tinggal di Jalan Preubweg no. 123, sebuah apartemen kecil terdiri dari
kamar tidur, kamar tamu, dapur kecil dan kamar mandi. Paviliun itu terletak di
atas garasi untuk tiga mobil milik keluarga Goldman, seorang pengusaha
percetakan buku.
Rumah besar
Goldman sangat indah dan halaman serta kebunnya besar dengan pemandangan yang
indah. Dareah rumah Villa Goldman termasuk mewah di daerah elit Aachen. Habibie
mendapat rekomendasi dari Professor Dr. Ing Hans Ebner dimana sejak 1960 ia
bekerja sebagai asisten dan juga peneliti.
Gaji Habibie
termasuk tunjangan DM 1.300,- ( sekitar 680 Euro) bersih adalah jauh lebih dari
cukup untuk hidup seorang diri. Tapi sangat terbatas untuk sebuah rumah tangga
baru mereka.
Dalam
catatan Ainun, pada buku SABJH halaman 383 keadaan mereka di awal tahun
dilukiskan sebagai berikut :
Di Aachen
kami mula-mula menyewa suatu paviliun tiga kamar. Pada mulanya hidup tidak
berat; saya dibantu seorang pembersih rumah. Setelah pembersih rumah tidak ada
pun hidup tidak terasa berat karena dari kecil saya sudah diajari
mengurus rumah tangga,memasak, mencuci, membersihkan dan sebagainya”
Waktu saya
sudah hamil sekitar empat bulan, kami merasa rumah yang kami tinggali akan
terlalu kecil buat bertiga nanti.
Kami temukan
sebuah rumah susun di luar Aachen. Letaknya di Oberforstbach. Besarnya lumayan,
ada kamar keluarga, kamar tidur, kamar anak-anak, dapur dan kamar mandi.
Hidup mulai
agak berat. Berat bukan karena beban pekerjaan di rumah tetapi karena rasa
kesendirian.
Oberforstbach
sebuah desa; kalau mau ke Aachen untuk keperluan tertentu seperti memeriksakan
kandungan ke dokter, orang perlu naik bis. Bis hanya ada setiap dua jam pagi
dan sore.
Hidup terasa
sepi sekali; jauh dari keluargak jauh dari teman-teman; jauh dari
segala-galanya. Tidak ada yang dapat diajak ngobrol. Berbahasa Jerman pun waktu
itu kurang disukai; bahasa Jerman ex-SMA ternyata tidak begitu menolong. Yang
ada hanya suami tetapi suami pun pulang larut malam. Ia harus bekerja, ia harus
menyelesaikan promosinya.
Penghasilan
kami pas-pasan; mendapat setengah dari Diploma Ingineru, oleh karena bekerja
setengah hari sebagai Asisten pada Institut Konstruksi Ringan Universitas, enam
ratus DM lagi dari DAAD, Dinas Beasiswa Jerman. Untuk menambah penghasilan,
suami dengan mencuri-mencuri waktu bekerja sebagai ahli konstruksi pada pabrik
kereta api mendisain gerbong-gerbong berkonstruksi ringan. Waktu sangat
berharga dan harus diatur ketat. Pagi-pagi ke pabrik dulu, kemudian sampai
malam di Universitas. Pukul 10.00 atau 11.00 nakan baru sampai di rumah dan
menulis disertasi. Kemana-mana naik bis, malah karena kekurangan uang untuk
membeli kartu langganan bulanan, dua tiga kali seminggu ia jalan kaki mengambil
jalan pintas sejauh lima belas kilometer. Sepatunya berlobang-lobang; baru
menjelang musim dingin lobangnya ditambal.
Soal
pengeluaran tetap meningkat. Di samping keperluan sehari-hari perlu ada
tabungan untuk hari depan. Harus dibayar asuransi kesehatan, dan ternyata
asuransi kesehatan bagi wanita hamil cukup tinggi karena memperhitungkan segala
kemungkinan; rumah sakit, terjadinya komplikasi, dsb-nya.
Untuk
menghemat, sejauh mungkin semuanya dikerjakan sendiri. Mulailah saya belajar
sendiri menjahit. Lama kelamaan jahitan saya tidak terlalu jelek; memperbaiki
yang rusak, membuat pakaian bayi, merajut, dan menjahit pakaian dalam persiapan
musim dingin. Maka tidak kebetulan bahwa yang pertama kami beli sebelum Ilham
lahir adalah mesin jahit. Bukan mesin cuci, bukan oven yang serba otomatis,
bukan perlengkapan lainnya. Tetapi mesin jahit. Itulah prioritasnya waktu itu.
Mesin jahit diperlukan untuk persiapan-persiapan. Dengan bertambahnya anggota
keluarga, tentu biaya hidup meningkat ; untuk makanan bayi, untuk dokternya,
obatnya, untuk ini dan itu”.
Jalan yang
menghubungkan Obesforstbach dengan Aachen adalah jalan dimana bus yang tidak
sering datang. Pagi sekali Habibie meninggalkan Ainun seorang diri dengan dana
yang sangat terbatas, dan kembali larut malam dengan sering berjalan kaki untuk
pengematan.
Jalan pintas
itu melintasi kuburan. Jika hujan dan dingin, Habibie berjalan dengan payung
dan mantel dengan sepatu yang diberi alas kertas yang diisolasi untuk
mengurangi rasa dingin.
Jika Habibie
pulang, Ainun sering menunggu kedatangannya dengan memandang keluar jendela
dari kontrakannya yang sederhana. Setiba di depan rumah, Ainun membuka pintu
dan memandang suaminya dengan senyuman terindah yang selalu menentramkan.
Habibie
mengenang almarhumah istrinya dengan sebuah kalimat yang memaksa kami untuk
turut larut dalam haru, dan barangkali menjadi duka seorang burung yang patah
sebelah sayapnya.
”Rasa
kedinginan, letih dan lapar hilang terpukau oleh pandangan mata Ainun yang
mencerminkan kebahagiaan, dan cinta yang murni, suci, sejati, sempurna dan
abadi”
Kisah
lengkap dapat dibaca di buku Habibie & Ainun yang diterbitkan oleh PT. THC
Mandiri – Jakarta tentu saja. Ekstrak kisah yang masih ingin saya lanjutkan di
tulisan berikutnya semoga cukup membantu bagi siapa saja yang belum sempat
membacanya.
Membangun
diri menjadi wanita hebat yang sepenuhnya menjadi ”energi” bagi para pasangan
hidup dalam perannya masing-masing di dunia ini. Dan memberi inspirasi bagi
para pria untuk menjadi suami teladan yang terus berjuang bagi wanita yang
telah diciptakan Allah sebagai pendamping hidup. Dalam sebuah MISI BESAR yang
adalah saling menyempurnakan dalam PERIBADAHAN kepada ALLAH semata sesuai
dengan TUJUAN penciptaan manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar