Saya perna membaca buku yang
berjudul “pemanah yang bijak”.
Dalam buku ini diceritakan
tentang dua kakak beradik yang memiliki hobi yang sama yaitu memanah. Keduanya lahir dari orangtua yang memiliki
hobi yang samapula. Kedua orangtuanya adalah atlet panahan yang terkenal.
Melihat anaknya memiliki hobi yang disandang oleh kedua orangtuanya tentulah
suatu kebahagiaan tersendiri, kedua orangtuanya dengan gigih melatih kedua
putra mereka setiap hari tanpa kenal lelah, seperti tiada hari tanpa latihan.
Seiring dengan berjalannya waktu
kedua anak tadi tumbuh menjadi remaja yang tangguh, kepiawaiannya memainkan
anak panah tak terelakkan lagi. Kedua orangtuanya melihat ternyata sang kakak
(si sulung) memiliki bakat yang lebih dibandingkan si adik (si bungsu) sehingga
orangtua tadi lebih fokus meluangkan waktunya untuk melatih si sulung. Beberapa
pertandingan yang sempat diikuti oleh si sulung tak satupun yang mengecewakan
bahkan selalu naik podium dan menerima berbagai penghargaan. Sementara si
bungsu masih belum bisa menyaingi kelihaian si sulung memainkan anak panah.
Meleset dalam memanah adalah
suatu masalah besar karena sudah tentu tidak akan mengenai sasaran, si bungsu
akhirnya belajar dari suatu kesalahan–kesalahan yang telah lalu, berlatih untuk
sabar dan berpikir positif serta menerima kekalahan dari pesaing-pesaingnya
termasuk sang kakak. Berangkat dari pengalaman si bungsu pandai menggunakan
waktu luangnya untuk belajar memainkan anak panah tanpa bimbingan kedua
orangtuanya sementara si sulung sudah terbuai oleh kemenangan-kemenangan yang
diraihnya, sudah jarang lagi berlatih dan
lebih mengandalkan instingnya saja serta kemampuan yang telah dimiikinya.